Dalam suatu kelas, ada seorang anak, sebut saja Namanya A bersahabat dengan anak lainnya bernama B. Dalam persahabatannya, mereka berdua selalu saling mengasihi dan membantu satu sama lain. Apalagi saat sekarang mereka sudah duduk di bangku sekolah , sudah mulai ada Pekerjaan Rumah ( PR ), ada ulangan , ada tugas lainnya.
A memang lebih cemerlang dalam hal akademik dan prestasi lainnya di Sekolah dan B banyak terbantu oleh A dalam kesehariannya menghadapi semua “tantangan” di Sekolah. Semua tugas-tugas B selalu dibantu oleh A. Apa saja yang sudah diajarkan A kepada B akan segera terlupakan setelah tugas itu selesai. Jadi tugas mendapatkan nilai bagus tetapi kemampuan B sebenarnya tidak bertambah. Saat A meminta B untuk mengerjakan semua tugasnya sendiri, B akan menolak dengan seribu satu rayuan agar A yang mengerjakannya, bahkan saat ulangan pun, A membantu B untuk belajar sehingga bisa lolos KKM, tidak jarang pun B harus remedial. Apakah hal ini baik untuk terus dilanjutkan ?
Sebaliknya B memiliki kelebihan dalam hal bersosialisasi. Temannya banyak, dengan mudah pun berkomunikasi dengan orang baru juga. A sering tidak nyaman jika diajak-ajak B untuk kumpul-kumpul dan hang out bersama teman- teman B. Jadi A akan Nampak banyak teman jika diajak B saja. Jika B tidak ada, A akan sendiri saja dan tidak berusaha mencari orang lain untuk bersosialisasi. Apakah hal ini juga baik untuk dilanjutkan ?
Dalam keseharian kita, hal saling membantu itu sangat baik dilakukan tetapi awas, jangan sampai kegiatan tolong – menolong itu menjadi racun dan kemudian “melumpuhkan” kemampuan asli orang lain. Saat A tidak ada lagi bersama B, apa yang akan terjadi ? B akan mencari orang lain lagi untuk bisa membantunya. B kehilangan kemampuannya untuk berjuang, memahami pelajaran, menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya di Sekolah. Saat B tidak Bersama A lagi, A akan nyaman saja sendiri tanpa berusaha mencari orang lain untuk bersosialisasi. A kehilangan kepekaan sosialnya , menerima orang lain, dan rasa membutuhkan orang lain.
Teman- teman dan saudara terkasih, dalam kehidupan ini , semua orang memiliki kelebihan dan kekurangannya sehingga wajar ada saling menolong , tetapi yang perlu diingat adalah jangan sampai hal tersebut melumpuhkan kemampuan pribadi yang lain. Biarkan diri kita sendiri bisa bertumbuh dengan belajar hal baru , biarkan teman kita juga bertumbuh dengan belajar hal yang sudah kita kuasai. Supaya kemampuan masing-masing dari kita bertambah. Dan yang pasti adalah kita berusaha melakukan hal yang benar. Dengan harapan semua hal yang nanti bisa kita lakukan adalah demi kemuliaan nama Tuhan.
Seperti dikatakan dalam tulisan Rasul Paulus pada Umat di Efesus 4 : 15 -16 , tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nya-lah seluruh tubuh yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.
SAYA MAU MERDEKA
Akhir-Akhir Ini Banyak Anak-Anak Sekolah Mudah Sekali Pasang Status Di Media Sosia...
Lagi Galau...
Lagi Bete...
Lagi Marah...
Lagi Jengkel...
Lagi Kesel...
Lagi...
Lagi...
Kalau Membaca Status Yang Seperti Ini Timbul Pertanyaan Di Dalam Pribadi Saya,
KENAPA?
ADA APA?
Jawabannya Sangat Sederhana Sekali.
Karena Mereka Belum Mengalami Kemerdekaan Hidup Di Dalam Kristus Yang Sebenarnya.
Apa Maksudnya?
Karena Anak-Anak Masih Hidup Dengan Gaya Hidup Yang Lama dan Masih Dikuasai Segala Sesuatu Yang Berhubungan Dengan Dosa.
Dosa Selalu Menghasilkan Kehidupan Yang Tidak Baik dan Tidak Benar.
Contohnya Rasa Jengkel Kepada Teman, Guru ataupun Orang Tua. Rasa Jengkel Ini Akan Menghasilkan Rasa Marah dan Juga Kecewa dan Akhirnya Bisa Sakit Hati dan Kebencian Menguasai Kehidupan Kita.
Jadi Kita Harus Buang Hal Itu Karena Firman Tuhan Mengatakan Bahwa...
Kolose 3:8 (TB) Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu.
Orang Yang Masih Dengan Kehidupan Dosa Tidak Akan Bisa Kehidupannya Maksimal karena Dosa Itu Akan Terus Menghalangi Kehidupannya dan Kita Harus Buang semuanya Sesuai Firman Tuhan Katakan...
Ibrani 12:1 (TB) Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Dosa Hanya Akan Membuat Hidup Kita Tidak Bebas,Terbelenggu dan Dosa Akan Merintangi Kehidupan Kita.
Lalu Apa Yang Harus Saya Lakukan?
Bagaimana Saya Harus Hidup Supaya Benar Benar Mengalami Hidup Yang Merdeka?
Galatia 5:1 (TB) Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.
Kalau Kita Mau Sungguh-Sungguh Menjadi Pribadi Yang Merdeka Maka Kita Harus Lakukan Kebenaran Firman Tuhan Ini.
1. Hidup Tetap Tinggal Di Dalam Tuhan.
Yohanes 15:5 (TB) Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.
2. Hidup Tetap Tinggal Didalam Firman Tuhan.
Yohanes 15:7 (TB) Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.
3. Hidup Tetap Tinggal Di Dalam Kasih Tuhan.
Yohanes 15:9 (TB) "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.
Yakin dan Percayalah
KEMERDEKAAN HIDUP YANG SEBENARNYA Akan Kita Alami Waktu Kita Sungguh-Sungguh Hidup...
1. Hidup Di Dalam Yesus
2. Hidup Di Dalam Firman
3. Hidup Di Dalam Kasih
Jangan Lupa
Saya Mau Merdeka dan Merdeka Itu Hanya Ada Di Dalam Tuhan Yesus
SALAM HIDUP MERDEKA
TUHAN YESUS MEMBERKATI
Ps.Djefri Welan
SEMUT DAN KEPOMPONG
“Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
Matius 5:44
Di suatu hutan yang rindang, hidup berbagai binatang buas dan jinak. Ada kelinci, burung, kucing, capung, kupu-kupu dan yang lainnya. Pada suatu hari, hutan dilanda badai yang sangat dahsyat. Angin bertiup sangat kencang, menerpa pohon dan daun-daun. Kraak! terdengar bunyi dahan-dahan berpatahan. Banyak hewan yang tidak dapat menyelamatkan dirinya. Badai baru berhenti ketika pagi menjelang. Matahari kembali bersinar hangatnya.
Tiba-tiba dari dalam tanah muncul seekor semut. Si semut terlindung dari badai karena ia bisa masuk ke sarangnya di dalam tanah. Ketika sedang berjalan, ia melihat seekor kepompong yang tergeletak di dahan daun yang patah.
Si semut bergumam, “Hmm alangkah tidak enaknya menjadi kepompong, terkurung dan tidak bisa kemana-mana. Menjadi kepompong memang memalukan! Coba lihat aku, bisa pergi ke mana saja ku mau,” ejek semut pada kepompong. Semut terus mengulang perkataannya pada setiap hewan yang berhasil ditemuinya.
Beberapa hari kemudian, semut berjalan di jalan yang berlumpur. Ia tidak menyadari kalau lumpur yang diinjaknya bisa menghisap dirinya semakin dalam. “Aduh, sulit sekali berjalan di tempat becek seperti ini,” keluh semut. Semakin lama, si semut semakin tenggelam dalam lumpur. “Tolong! tolong,” teriak si semut.
“Wah, sepertinya kamu sedang kesulitan ya?” Si semut terheran mendengar suara itu. Ia memandang kesekelilingnya mencari sumber suara. Dilihatnya seekor kupu-kupu yang indah terbang mendekatinya.
“Hai, semut aku adalah kepompong yang dahulu engkau ejek. Sekarang aku sudah menjadi kupu-kupu. Aku bisa pergi ke mana saja dengan sayapku. Lihat! sekarang kau tidak bisa berjalan di lumpur itu, ‘kan?”
“Yah, aku sadar. Aku mohon maaf karena telah mengejekmu. Maukah kau menolongku sekarang?” kata si semut pada kupu-kupu. Akhirnya kupu-kupu menolong semut yang terjebak dalam lumpur penghisap. Tidak berapa lama, semut terbebas dari lumpur penghisap tersebut.
Setelah terbebas, semut mengucapkan terima kasih pada kupu-kupu. “Tidak apa-apa, memang sudah kewajiban kita untuk menolong yang sedang kesusahan bukan? Karenanya kamu jangan mengejek hewan lain lagi, ya?” Karena setiap makhluk pasti diberikan kelebihan dan kekurangan oleh yang Maha Pencipta. Sejak saat itu, semut dan kepompong menjadi sahabat karib.
Pesan moral :
Tuhan memberikan kelebihan dan kekurangan kepada makhluk ciptaan-Nya. Syukuri dan gunakan dengan baik kelebihan kita, dan terima dengan bijak kekurangan kita, serta jangan pernah meremehkan orang lain.
Ada seorang anak laki-laki yang senang bermain di bawah pohon apel besar setiap hari. Anak itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, lalu tidur-tiduran di keteduhan rindang dedaunannya. Waktu terus bergulir. Anak itu kini telah bertumbuh besar dan tak lagi bermain di bawah pohon apel itu setiap hari.
Suatu ketika, ia mendatangi pohon apel itu. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini, bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak itu. “Aku ingin punya mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Maaf aku tak punya uang… tapi kamu boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Lalu, kamu bisa dapat uang untuk membeli semua mainan kesukaanmu.”
Suatu hari, anak itu datang lagi. Pohon apel girang melihatnya datang. “Ayo, bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki yang sudah dewasa itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Bisakah kau menolongku?”
“Maaf! aku pun tak punya rumah. Tapi kamu boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu koq,” kata pohon apel.
Setelah itu, anak lelaki itu lama tak kembali lagi. Pohon apel merasa kesepian, sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu menampakkan batang hidungnya lagi. Pohon apel bersukacita menyambutnya. “Ayo bermain denganku lagi,” kata pohon apel yang sudah jarang berbuah, dan kekurangan dahan.
“Aku sedih” kata anak lelaki yang kini telah menua. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar saja. Maukah kau memberiku sebuah kapal untuk berpesiar?”
“Maaf! aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah”
Ia lalu pergi berlayar dan lama lagi tak kunjung menemui pohon apel.
Setelah bertahun-tahun, anak lelaki tadi datang lagi.
“Maaf,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu!”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki.
“Aku juga tak punya batang dan dahan yang bisa kaupanjat,” kata pohon apel.
“Sekarang aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak.
“Aku tak punya apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini dan sekarat” kata pohon apel sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat, berteduh. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu”
“Oh, bagus sekali kalau begitu. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”
Anak lelaki yang kini berusia senja itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air mata bahagianya.
***
Cerita di atas menggambarkan bentuk umum relasi antara orangtua dan anak. Pohon apel merupakan analogi dari keberadaan orangtua bagi anaknya. Orangtua digambarkan sebagai pihak yang selalu terbuka untuk didatangi oleh sang anak, bersedia memberi, berkurban untuk anaknya.
Sedangkan, sang anak digambarkan sebagai seseorang yang hanya datang pada orangtua ketika memerlukan sesuatu. Anak lelaki digambarkan sebagai seseorang yang meninggalkan orangtua ketika kebutuhannya sudah terpenuhi, lalu kembali ketika memiliki kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
Pola relasi seperti dalam cerita di atas sebenarnya umum terjadi dalam relasi orangtua dan anak. Proses pengasuhan dan perawatan orangtua terhadap anak yang berlangsung bertahun-tahun berperan membentuk pola relasi ini.
Secara alamiah, orangtua terbiasa berperan sebagai pemberi, sementara secara natur, anak lebih terbiasa memposisikan diri sebagai penerima. Sebagai pihak pemberi, orangtua terbiasa menjadi pihak yang berperan aktif melakukan segala sesuatu apabila hal itu berkaitan dengan sang anak, termasuk aktif menjalin relasi.
Pada umumnya, orangtualah yang akan secara aktif berusaha mendekati anaknya, menanyakan perkembangan kehidupan anaknya, dan menawarkan bantuan bila diperlukan. Sebaliknya, sebagai pihak penerima, anak terbiasa menganggap orangtuanya sebagai sumber pemenuhan kebutuhannya, dan anak pasif ketika berelasi dengan orangtua. Umumnya, anak tidak secara alamiah terdorong untuk aktif, mengambil inisiatif mendekati untuk membina relasi dengan orangtuanya.
Dengan demikian, pada dasarnya seorang anak cenderung tak secara alamiah atau bukan otomatis punya keinginan, dorongan untuk mau mendekatkan diri dan membina relasi dengan orangtuanya. Anak punya kecenderungan lebih berfokus mengatur, mengurus hidup serta kepentingannya sendiri dibandingkan menaruh perhatian terhadap kebutuhan atau kepentingan orangtuanya. Anak juga lebih mudah bersikap melupakan orangtuanya apalagi kalau tinggal di lokasi yang berjauhan.
Motivasi yang benar untuk membina relasi dengan orangtua hendaknya dialasi dengan motivasi yang benar, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada orangtua.
1. Kasih kepada Tuhan sebagai dasar ketaatan pada perintah Tuhan untuk mengasihi orangtua
Beberapa bagian firman Tuhan dengan gamblang menyatakan bagaimana cara anak harus berelasi dengan orangtuanya. Dikatakan dalam firman Tuhan:
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu (Keluaran 20:12).
Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu (Imamat 19:3).
Firman Tuhan di atas menyatakan suatu perintah untuk anak agar menghormati dan menyegani orangtuanya. Perintah ini mengandung suatu arti semua tindakan baik, dukungan materi, rasa hormat, dan ketaatan kepada orangtua. Perintah ini mencegah kata-kata kasar dan tindakan yang mencederakan hati orangtua. Dalam Keluaran 21:15, 17, Allah bahkan menuntut hukuman mati bagi setiap orang yang memukul atau mengutuk orangtuanya. Ini menunjukkan, Allah mementingkan penghormatan kepada orangtua.
Meskipun Alkitab mengungkapkan adanya penghukuman bagi setiap orang yang memukul atau mengutuk orangtuanya, namun hendaknya hal ini bukan menjadi dasar ketaatan buta kita. Ketaatan kepada firman Tuhan pun hendaknya didasari oleh kasih kepada-Nya, ya kasih kepada-Nya, yang kemudian menumbuhkan keinginan untuk tunduk pada perintah-Nya Tuhan dan menumbuhkan rasa kasih kepada orangtua.
2. Kasih kepada orangtua mendasari kerinduan anak membina relasi dengan orangtua
Selain kasih kepada Tuhan, dorongan atau keinginan untuk membina relasi dengan orangtua hendaknya berjangkarkan pada rasa kasih kepada orangtua. Karena kita mengasihi mereka, maka kita mau dekat dengan mereka. Maka kita mau mengenal mereka. Maka kita mau memberi perhatian dan menunjukkan kepedulian. Bukan tergerak oleh rasa bersalah atau untuk memperoleh nama baik yang melindungi harga diri kita secara semu.
Disebutkan sebelumnya bahwa bukan suatu yang alamiah seorang anak ingin membangun relasi dengan orangtua. Perlu komitmen secara sadar dan usaha yang sengaja untuk dapat membina relasinya dengan orangtua.
Di bawah ini beberapa tips praktis agar anak mendekatkan diri pada orangtuanya supaya relasi yang ada bisa bertambah dekat secara emosional:
Apa hobi orangtua? Kenali. Temani bila sedang melakukan hobinya
Bercakap-cakaplah dengan mereka. Ajak bercakap-cakap hal-hal yang menjadi minat mereka
Mintai pendapat kepada mereka tentang suatu hal, peristiwa, kegiatan, dan lain-lain. Orangtua akan merasa dilibatkan dan dihargai
Belanja bersama orangtua, olahraga, dan lain-lain yang dapat mendekatkan relasi antara kita dengan orangtua
oleh Monica, M.Psi., Psi.
Pada suatu hari lima jari di tangan berdebat, mereka mempunyai argumen masing-masing. Setiap jari berpendapat bahwa ia adalah anggota paling penting dari keluarga mereka.
Jari jempol memulai klaimnya, “Saya benar-benar penting untuk makan, menulis, dan untuk menangkap objek apapun dengan tangan. Selain itu, menggunakan jempol adalah simbol universal kemenangan.”
Jari telunjuk kemudian berpendapat, “Saya penting untuk menunjuk ke objek apapun dan menuduh seseorang. Pembicara menggunakan saya untuk mengekspresikan ide-ide tegas dan menunjukkan pada orang-orang dengan kekuasaan. Saya dibesarkan di atas semua untuk menunjukkan bahwa hal adalah yang pertama dan yang terbaik.”
Lalu jari tengah pun menegaskan, “Saya pasti terpanjang di antara kita dan saya menjadi pemimpin alami dari keluarga ini. Saya memiliki martabat maksimal dan saya selalu memiliki Anda berdua untuk menjaga saya di kedua sisi. Anda tidak dapat mempertanyakan status, atau perawakan saya.”
Kemudian jari manis mengeluarkan pendapatnya, “Sayalah simbol cinta, asmara, perkawinan dan kehidupan keluarga. Saya dihiasi dengan cincin emas selama pertunangan dan pernikahan, momen terbesar dan paling berkesan dalam hidup seseorang. Saya bersinar di antara kamu seperti seorang raja mengenakan kerajaan, mahkota emas.”
Jari kelingking sedang menunggu kesempatan. Ketika tiba kesempatannya bicara, ia berkata, “Sayalah yang terkecil, tapi saya bukan yang terakhir. Sebagai bayi dari keluarga, saya pantas mendapat perawatan khusus dan pertimbangan. Tidak diragukan lagi saya jari yang paling indah dengan kelembutan dan anugerah hidup. Ketika tangan dilipat selama doa atau ungkapan hormat, saya tinggal di depan kalian semua sebagai pemimpin. Jelas, sayalah yang terbesar.”
Pernahkah kita bayangkan bila tangan kita hanya terdiri dari jempol semua? Falsafah ini sederhana namun sangat berarti. Perdebatan itu terus berjalan, bahkan mulai perkelahian fisik, ketika pemilik tangan mengajak mereka untuk berdamai. Ia meyakinkan mereka bahwa setiap jari adalah sama pentingnya. Ia mengatakan kepada mereka, “Kalian masing-masing penting bagi saya. Kalian masing-masing tidak berdaya dan tidak berguna tanpa bantuan dari orang lain”.
Tuhan menciptakan kalian berbeda supaya ketika bertindak bersama-sama, maka kalian dapat mencapai apa yang tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri. Tidak ada yang lemah atau tidak penting. Masing-masing memiliki kemampuan yang unik dan penting. Kita dapat meraih kemenangan hanya dengan upaya kolektif, kerjasama yang erat, dan tim kerja. Contohnya, ketika kita bertindak selaras, kita dapat mengoperasikan alat dan peralatan yang berbeda, membuat karya seni yang sangat indah, memainkan alat musik, dan membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita.
Maka, sebagai manusia hendaklah kita saling mengasihi antar sesama, saling membantu, dan saling melindungi. Hormati dan hargailah kekurangan dan kelebihan orang lain. Jadikan perbedaan itu sebagai kekuatan kita untuk melangkah menghadapi tantangan-tantangan dunia.
Novianti Octora, S. Psi.
C. S. Lewis. Nama yang tak asing lagi di telinga kita. Seorang penulis yang terkenal dan dikagumi. Lewis berhasil mengembangkan kemampuannya dalam menulis, khususnya di kesastraan anak dan fantasi. Salah satu hasil karyanya yang sangat dihormati adalah The Chronicles of Narnia. Seri The Chronicles of Narnia sangat populer dan telah diadaptasi ke beberapa drama, sandiwara radio, dan film bioskop. Majalah Time mencatat buku pertama dalam seri itu, The Lion, t he Witch, and the Wardrobe, sebagai salah satu dari 100 novel terbaik berbahasa Inggris yang ditulis antara 1923 dan 2005.
Karya tulis Lewis telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan sudah terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Luar biasa. Selain itu, hal yang menarik dari kehidupan Lewis adalah sejak pertobatannya, ia mendedikasikan semua karya dan tulisannya untuk Tuhan. Lewis mendapatkan pengakuan secara international sebagai penulis Kristen paling berpengaruh pada abad 20. Sampai akhir hidupnya, Lewis tetap mendedikasikan karyanya hanya untuk Tuhan.
Kita percaya bahwa kemampuan tersebut adalah pemberian Tuhan kepadanya, baik sebagai bawaan sejak lahir maupun hasil belajar atau latihan. Itulah talenta. Pemberian Tuhan kepada setiap orang, sekalipun tak sama, namun pasti memilikinya. Talenta berbeda dengan karunia. Karunia hanya diberikan kepada orang yang telah percaya kepada Kristus, dan tidak dapat dipelajari. Walaupun demikian, keduanya—baik talenta maupun karunia—dapat dikembangkan dan digunakan untuk kemuliaan Tuhan.
Talenta sebetulnya adalah satuan berat (lih. Why. 16:21, “…about the weight of a talent [versi KJV]” yang berarti kira?kira seberat satu talenta). Talenta juga digunakan untuk menunjuk pada satuan uang (lih. Mat. 18:24) dengan nilai 1 talenta sekitar 6.000 dinar atau upah seorang buruh dalam 20 tahun. Namun, pada umumnya talenta dipahami sebagai segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang—baik orang Kristen maupun atau non-Kristen—yang bisa digunakan untuk menyenangkan, memuliakan Tuhan. Dengan demikian, talenta tidak hanya kemampuan, juga tak hanya uang, melainkan segala hal yang diberikan Tuhan kepada setiap orang.
Dalam Matius 25:14-30, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang talenta. Dalam perumpaan tersebut, digambarkan seorang tuan yang mempercayakan talenta dengan jumlah yang berbeda kepada tiga orang hambanya. Sang tuan menghendaki agar talenta tersebut dikembangkan dan kemudian dipertanggungjawabkan. Hal ini pun, dikerjakan dan dikelola tanpa pengawasan dari sang tuan. Namun, saat hari pertanggungjawaban tiba, hanya dua orang hamba yang mengerjakannya, sedangkan yang seorang lagi tidak mengelolanya. Kedua hamba itu pun mendapatkan pujian dari tuannya, dan hamba yang lain mendapat hukuman.
Talenta yang sama juga dipercayakan Tuhan kepada kita. Bisa jadi hal itu kemampuan, bakat, harta, waktu, jabatan, atau karunia rohani. Namun, seperti hamba-hamba itu, kita pun diminta mengembangkan talenta itu dengan setia dan taat untuk kemuliaan-Nya.
Memang talenta kita masing-masing tak sama, tetapi Tuhan mau kita mengusahakannya, berapa pun yang diberikan kepada kita. Sudahkah kita melakukannya? Sehingga pada akhirnya Tuan kita berkata, “Baik sekali perbuatanmu, hai hambaku yang baik dan setia.”
Dalam bacaan Injil ini, Matius 12: 14-21, orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh Yesus. Namun, Ia mengetahui niat jahat mereka dan segera menyingkir dari mereka.
Dalam hidup kita, kadangkala niat baik maupun sumbangan baik kita tidak diterima oleh masyarakat atau pun komunitas dimana kita berkarya. Bahkan lebih buruk lagi, rekan-seperjuangan kita bersekongkol untuk “membunuh” niat baik kita.
Jika kita belum siap menghadapi situasi seperti itu, cara yang terbaik adalah menghindar. Ingat, kebenaran memiliki kekuatan untuk mengendalikan dirinya sendiri.
Kita menghindar sejenak untuk menimba kekuatan dengan membaca Alkitab.
Anda harus tetap tinggal di dalam Firman Tuhan! Jika tidak, Anda tidak akan memiliki kekuatan dan stamina untuk menjalani hidup yang berintegritas.
Jadi jangan takut untuk berbuat benar. Teruslah maju, seoral-olah menyingkir, tetapi demi kemenganan yakni agar kebaikan, kebenaran dan kekudusan menjadi kelihatan.
Dalam bacaan ini, Yesus telah menunjukan bahwa satu-satunya cara untuk memuliakan kerajaan Allah adalah melalui salib – salib penderitaan dan penghinaan – yang Yesus alami demi kita dan untuk keselamatan kita.
Kita juga, dipanggil untuk memikul salib kita setiap hari – untuk mati terhadap dosa, keegoisan, iri hati, kesombongan, perselisihan, dan kebencian – dan menyerahkan hidup kita dalam pelayanan yang rendah hati dan saling mengasihi, seperti yang Yesus lakukan untuk demi kita.
Matius mengutip dari nubuat Nabi Yesaya mengenai “Hamba yang Menderita” untuk menjelaskan bagaimana Yesus Mesias akan mencapai misinya – bukan dengan menghancurkan kekuatan – tetapi melalui cinta dan pengorbanan (Yesaya 42: 1-4).
Di tempat tahta Yesus memilih untuk menaiki salib dan mengenakan mahkota duri. Dia disalibkan sebagai Tuhan dan Raja kita (Yohanes 19:19; Filipi 2:11) Tidak ada bukti yang lebih besar tentang kasih Allah bagi kita daripada kematian korban dari Anak-Nya yang tunggal untuk kita dan keselamatan kita (Yohanes 3:16).
Yesus mati bukan hanya untuk orang Yahudi tetapi juga bagi semua bangsa non Yahudi. Yesaya telah menubuatkan berabad-abad sebelumnya, bahwa Mesias akan membawa keadilan bagi bangsa-bangsa lain.
Maka kita diajak untuk berusaha melakukan yang benar dan memiliki tujuan hidup yang tepat, akan membuat Anda lelah dan karena itulah Anda harus diperlengkapi dan disegarkan dengan Firman-Nya.
Ayat bacaan: Mazmur 64:11
==================
“Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah.”
Susahkah hidup jujur? Secara teori mudah bagi kita untuk mengatakan tidak, tetapi pada prakteknya itu sulit. Orang yang jujur akan kehilangan banyak kesempatan karena tidak bisa mengikuti arus ditempatnya bekerja. Ada seorang teman yang karirnya mandek hanya gara-gara memilih hidup jujur. Ia menolak untuk ikut-ikutan menikmati sisa dana anggaran di sebuah instansi pemerintah. Masih mending kalau memang sisa, tapi sepanjang tahun mereka mempergunakan anggaran sekecil mungkin agar sisanya besar. Karena menolak ikut, ia pun dipinggirkan oleh rekan-rekan dan pimpinannya. Ini baru satu contoh kecil saja dari pola pikir tidak jujur yang terjadi dimana-mana. Kita harus pintar mengikuti arus agar bisa bertahan pada posisi dalam karir, berbohong, menutupi kebenaran atau ikut melakukan penyelewengan. Semakin lama kejujuran semakin menjadi barang langka yang meski selalu diajarkan dimana-mana tetapi pada kenyataannya semakin dipinggirkan. Di mata dunia mungkin seperti itu, tetapi ingatlah bahwa kejujuran yang sekecil apapun memiliki nilai yang sangat tinggi di mata Tuhan.
Dalam konteks kekristenan, kejujuran adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh orang percaya. Imbalan yang disediakan Tuhan bagi orang jujur bukan main besarnya. Lihatlah ayat ini: “Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya, supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya, supaya jangan melihat kejahatan, dialah seperti orang yang tinggal aman di tempat-tempat tinggi, bentengnya ialah kubu di atas bukit batu; rotinya disediakan air minumnya terjamin.” (Yesaya 33:15-16). Lihatlah betapa besar nilai kejujuran di mata Tuhan. Mungkin di dunia ini kita bisa mengalami kerugian atau bahkan malah mendapat masalah karena memutuskan untuk berlaku jujur. Tetapi itu bukanlah masalah karena kelak dalam kehidupan selanjutnya yang kekal semua itu akan diperhitungkan sebagai kebenaran yang berkenan di hadapan Allah. Dalam Mazmur dikatakan: “Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya; semua orang yang jujur akan bermegah.” (Mazmur 64:11). Pada saat ini mungkin kita rugi akibat memutuskan untuk jujur, tetapi kelak pada saatnya kita akan bermegah dan bersyukur karena telah mengambil keputusan yang benar.
Bagaimana kalau kita harus menerima konsekuensi diperlakukan tak adil jika memilih jujur? Anggaplah itu sebuah ujian. Seperti layaknya ujian, untuk menghadapinya memang bisa jadi berat. Tetapi keseriusan dan ketekunan kita dalam menghadapinya akan menentukan hasil akhir. Akan halnya ujian kejujuran, ada saat-saat dimana anda merasa diperlakukan tidak adil, sudah jujur malah disalahkan dan dirugikan. Hadapi ujian dengan tegar, tetap fokuskan pandangan jauh ke depan, kepada sebuah kehidupan abadi yang akan anda jalani kelak. Bukan apa yang fana di dunia ini yang penting melainkan seperti apa anda nantinya dalam penghakiman Tuhan.
Yakobus berkata: “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” (Yakobus 1:2-4). Ujian akan menumbuhkan ketekunan, dan dari sana kita bisa menghasilkan buah-buah yang matang. Karakter kita akan disempurnakan lewat ujian-ujian itu. Ujian adalah kesempatan bagi kita untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu seharusnya kita berbahagia ketika mendapat kesempatan untuk ujian. Buat sesaat kecurangan mungkin bisa memberi banyak keuntungan, tetapi itu semua hanyalah sesaat dan fana. Untuk sebuah hidup yang kekal, kecurangan tidak akan pernah membawa keuntungan malah mendatangkan kerugian. Jangan lupa bahwa Tuhan sudah berkata bahwa Dia tidak akan menutup mata dari apapun yang kita lakukan dalam hidup kita. “Malah Ia mengganjar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya.” (Ayub 34:11). Baik atau tidak akan membawa ganjaran atau konsekuensinya sendiri. Baik atau tidak ganjaran yang kita terima akan tergantung dari bagaimana cara kita hidup.
Kalau jujur membuat anda menderita saat ini, bertahanlah. Firman Tuhan berpesan: “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan” (Filipi 2:14). Ini termasuk pula komitmen kita untuk tetap mempertahankan kejujuran dan kesetiaan dengan tidak mengeluh terhadap konsekuensi apapun yang kita alami di dunia ini. Mengapa demikian? Sebab Firman Tuhan kemudian berkata: “supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.” (ay 15). Sebagai anak-anak Allah dan bukan anak-anak dunia sudah seharusnya kita menunjukkan kebenaran dan berani tampil beda. Kita tidak boleh ikut-ikutan arus sesat dari angkatan yang bengkok hatinya karena kita menyandang status sebagai anak-anak Tuhan. Pada akhirnya kita akan melihat bahwa perjuangan kita terhadap kejujuran tidak akan sia-sia. Muda atau tua, siapapun kita, peganglah prinsip kejujuran setinggi mungkin dan jangan gadaikan itu untuk alasan apapun.
Kepada anda yang masih muda, hal kejujuran pun sama pentingnya untuk dijalankan. Lihatlah pesan Paulus Kepada Timotius: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12). Walaupun masih muda kita tetap dituntut untuk bisa menjadi teladan dalam segala hal.
Kita hidup di dalam masyarakat yang mau menghalalkan segala cara, yang hidup dengan standar-standar ganda dan yang tidak lagi menghargai kebenaran dan kejujuran. Meski anda masih muda, mulailah menunjukkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran, jangan tukarkan itu dengan apapun, dan lihatlah pada saatnya nanti setiap orang jujur akan bersukacita memetik buahnya.
Dunia boleh saja menolak kejujuran, di mata Tuhan sekecil apapun itu akan sangat berharga
"Siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." Mazmur 50:23b
Orang-orang dunia boleh saja berkata, "Jujur itu hancur.", tapi sebagai anak-anak Tuhan kita harus berani berprinsip, "...aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia." (Kisah 24:16). Tidak ada kata 'rugi' apalagi sia-sia bila kita hidup jujur. Justru sebaliknya ada berkat-berkat luar biasa yang disediakan Tuhan bagi orang yang jujur. Ayat nas di atas jelas menyatakan bahwa Tuhan sangat mengasihi orang yang jujur jalannya, bahkan Alkitab mencatat: "...dengan orang jujur Ia bergaul erat." (Amsal 3:32). Juga dikatakan bahwa "...orang-orang yang jujur akan diam di hadapan-Mu." (Mazmur 140:14b) dan "...doa orang jujur dikenan-Nya." (Amsal 15:8b). Ternyata Tuhan sangat memperhatikan orang-orang yang hidupnya jujur dan doa orang jujur pasti berkenan padaNya!
Suatu ketika saudara-saudara Yusuf menemukan uang di dalam karung mereka setelah membeli gandum di Mesir. "...tampaklah ada pundi-pundi uang masing-masing dalam karungnya;" (Kejadian 42:35). Pastilah uang yang tidak sedikit jumlahnya! Apa yang kita lakukan jika kita mengalami peristiwa yang demikian? Mengembalikan uang tersebut atau kita malah diam saja dan berkata, "Wah...rejeki nomplok nih, kita ambil saja!"? Tapi inilah yang dilakukan saudara-saudara Yusuf, "...ketika kami sampai ke tempat bermalam dan membuka karung kami, tampaklah uang kami masing-masing dengan tidak kurang jumlahnya ada di dalam mulut karung. Tetapi sekarang kami membawanya kembali." (Kejadian 43:21). Mereka mengembalikan uang yang bukan haknya itu. Mereka telah lulus ujian kejujuran!
Ternyata saudara-saudara Yusuf telah mengalami perubahan karakter, berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya di mana mereka telah memasukkan Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya kepada para saudagar Midian dan membawa berita tidak jujur kepada ayahnya (Yakub) dengan mengatakan bahwa Yusuf telah mati diterkam binatang buas.
Karena jujur, saudara-saudara Yusuf diberkati di tengah kelaparan yang melanda negerinya; mereka tetap terpelihara!
Pada dasarnya setiap orang tua yang memiliki anak, mengharapkan anak-anaknya berprestasi. Baik prestasi dalam studinya, maupun prestasi dalam pengembangan bakat dan ketrampilannya. Dan mesti diakui, pada masa ini memang banyak anak-anak muda yang cukup memiliki prestasi yang membanggakan dan mengagumkan.
Permasalahannya adalah apakah prestasi yang mereka peroleh sudah sungguh-sungguh diupayakan dengan cara-cara yang jujur? Karena prestasi yang tinggi tanpa karakter hidup yang jujur akan menciptakan manusia-manusia yang penuh tipu muslihat dan kebohongan.
Dalam kehidupan nyata di masa studi, banyak anak-anak yang mampu mencapai nilai yang tinggi, tapi dilakukan dengan cara menyontek atau melakukan kecurangan pada saat ulangan/ujian.
Mazmur 37, merupakan sebuah renungan tentang kemakmuran orang fasik. Si Pemazmur jelas sangat dirisaukan oleh kemakmuran dan kuasa orang-orang fasik, namun ia yakin bahwa keadaan tersebut hanyalah pembalikkan sementara dari nilai-nilai yang benar. Dan secara keseluruhan. Mazmur ini hendak memberi gambaran, bahwa orang yang berlindung pada TUHAN akan diselamatkan, sedang orang fasik akan dibinasakan.
Orang benar adalah orang yang mampu mengasihi dan mau memberi pinjaman kepada mereka yang berkesusahan tanpa dipungut riba/bunga, karena Tuhan memberkati mereka.
Ayat 34-40, berisi nasihat penutup dari pasal 37. Di sini digambarkan perbedaan (dikontraskan) antara orang fasik dan orang jujur. Orang fasik dan pendurhaka akan dilenyapkan; orang benar/jujur/tulus akan mewarisi negeri. Orang fasik tidak memiliki masa depan; orang jujur/tulus/suka damai memiliki masa depan.
Orang benar yang berlindung pada Tuhan akan diselamatkan pada waktu kesesakan. Tuhan adalah tempat perlindungan, penolong dan penyelamat bagi orang benar.
Ungkapan akan “mewarisi negeri” cukup menarik, karena biasanya dikaitkan dengan keberhasilan, kesuksesan dan kekayaan yang ada di dunia. Padahal pemazmur memaknai lebih dalam dari hal itu. Pemazmur lebih menunjuk, mewarisi negeri sebagai berkat TUHAN bukan sekedar pada keberhasilan dan kekayaan di dunia saja melainkan memiliki masa depan dalam TUHAN.
Tidak bisa dipungkiri, selama orang masih di dunia, sekalipun berprestasi dan jujur akan tetap menemui masalah. Dan di sinilah bedanya, bila orang berlindung pada TUHAN saat ada kesesakan, ia tetap memiliki masa depan.
Untuk itu pemazmur mengajak agar orang benar/jujur/tulus menantikan TUHAN dan tetap mengikuti jalan TUHAN (ayat 34). Mengikuti jalan TUHAN juga berarti menunjukkan kasih kepada sesama. Jujur berarti tetap berada di jalan yang lurus dan benar, dengan berpedoman pada jalan dan Firman TUHAN.